Pendidikan Berbasis Kurikulum

         
           
           Pendidikan adalah jalur emas untuk sebuah pencapaian yang gemilang. Di sanalah banyak bulir mudah berkiprah. Sebagian orang dengan tekun merawat dan menjaga jalur emas itu agar kadar emasnya tak berkurang 1 karat pun. Tetapi, malangnya adapula separuh orang yang menyianyiakan logam mulia yang diperebutkan itu. Banyak masalah yang hadir dalam dunia pendidikan. Banyak pula solusi yang ditawarkan, tinggal bagaimana kita mengatasinya.

 Tanggal 20 Oktober 2014 Jokowi dilantik sebagai presiden ke tujuh NKRI. Dalam menjalankan tugasnya presiden dibantu oleh suatu susunan kabinet. Jokowi menyebutnya Kabinet Kerja. Dewan pemerintahan  ini terdiri atas beberapa menteri baru yang dianggap dapat membantu kelancaran pemerintahan di Indonesia. Salah satu tokoh menteri baru yang dipercaya oleh Jokowi adalah Dr. Anies Baswedan, Ph.D. Beliau adalah menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam masa awal jabatannya Anies hanya meneruskan apa yang telah dilaksanakan oleh menteri pendidikan sebelumnya. Salah satu contohnya ialah menjalankan kurikulum yang sedang berlangsung yakni Kurikulum 2013. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan kebijakan implementasi Kurikulum 2013 mulai tahun pelajaran 2013/2014 secara bertahap di 1.270 SMA. Dalam kurikulum 2013 mengusung adanya keseimbangan antara sikap, keterampilan dan pengetahuan. Pada pelaksanaan K13 ini guru dituntut agar dengan teliti menjalankan kegiatan 5M, yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Selain itu siswa dituntut untuk lebih berperan aktif dalam mencari tahu sendiri hal-hal yang akan dipelajari daripada hanya menggantungkan diri pada guru. K13 menyadari bahwa siswa dalam masanya memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.

Seiring berjalannya waktu muncul berbagai polemik. Di sana-sini terdengar berbagai reaksi miring entah di kalangan guru sebagai pengajar maupun kalangan siswa. Kehadiran K13 dianggap tidak menjawabi kebutuhan siswa secara tepat. Sistem yang digunakan pada K13 dianggap cukup rumit karena penilaiannya yang begitu banyak. Banyak guru yang merasa sama sekali tidak menjalankan tugasnya dengan baik karena terlalu “sibuk” mengurus administrasi. Mereka beranggapan bahwa tugas pedagogik terabaikan karena sibuk dengan penilaian. Hal yang sama pula dirasakan oleh siswa selaku peserta didik. Sebagian besar siswa merasa bahwa keberadaan K13 bukannya mempermudah proses pembelajaran tetapi mempersulit anak untuk memahami. Contoh yang cukup real adalah penerapan gaya belajar siswa yang mencari tahu sendiri. Hal ini dalam K13 bertujuan agar anak lebih menggauli materi yang didalaminya. Namun, kenyataannya siswa sulit beradaptasi karena siswa sudah terbiasa dengan cara menerima pengetahuan dan mendalaminya. Sebagian guru setuju dengan keberadaan K13 ini karena, kurikulum ini dianggap cocok dalam mengetahui perkembangan otak anak didik dan juga kepribadian anak didik. Hal inilah yang membuat keberadaan K13 sering diperdebatkan di kancah pendidikan.

“Menteri Baru, Kurikulum Pun Baru”. Anggapan ini tentu tidaklah lazim didengarkan. Karena, itu berarti bahwa jabatan seorang menteri ditandai dengan berjalannya sebuah program yang baru. Apabila kita kembali lagi ke dunia pendidikan, maka kita akan menyadari adanya pergantian kurikulum. Hal ini mau menunjukan bahwa seolah-olah anggapan di atas itu benar. Tetapi, sesungguhnya maksud dari pergantian kurikulum adalah untuk membawa pendidikan Indonesia dapat lebih maju dan berkualitas serta membawa peserta didiknya menjadi tunas bangsa yang bermartabat dan mapan di kemudian hari. Perubahan kurikulum dari KTSP 2006 ke K13 menandakan adanya proses penyempurnaan. Tetapi, perubahan kurikulum ini dianggap menjadi sebuah masalah. Anies Baswedan dalam acara sentilan-sentilun tanggal 15 Desember lalu menegaskan bahwa perubahan kurikulum dari KTSP ke K13 adalah langkah yang baik. Tetapi, langkah ini diambil terlalu cepat, sementara masih ada banyak hal yang perlu ditambahkan. K13 mempunyai konsep yang baik, sehingga semua sekolah wajib menjalankan K13 secara serentak. Tetapi, yang terjadi ialah pelatihan yang dilakukan belum komplit dan merata.

Pada tanggal 6 Desember 2014 menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Anies Baswedan, Ph.D memutuskan untuk mengadakan kembali KTSP. Oleh karena itu pada tahun 2015 K13 digantikan kembali dengan KTSP. Di satu sisi banyak pihak yang tampak mengeluskan dada tanda lega, tetapi di sisi lain ada pula oknum-oknum tertentu yang merasa dirugikan karena beban biaya yang akan angus begitu saja seperti pengadaan buku. Menanggapi masalah ini menteri pendidikan memutuskan untuk tetap mengizinkan sekolah-sekolah yang sudah menjalankan K13 selama 1 tahun untuk tetap menjalankannya. Tetapi, untuk sekolah-sekolah yang baru 1 semester menjalankan K13 sebaiknya kembali menjalani KTSP. Selain itu, Anies memutuskan bahwa meskipun KTSP dijalankan buku sumbernya boleh menggunakan buku yang berdasarkan pada K13.

Anies  dalam acara Sentilan-Sentilun di Metro pada Senin, 15 Desember 2014 pukul 23.30 menegaskan bahwa pergantian kurikulum tidak berarti bahwa K13 dihapuskan tetapi masih perlu dilakukan pendaan. Beliau mengatakan bahwa “Keberadaan K13 tidak dihapuskan tetapi ditunda penggunaanya, karena K13 masih belum sempurna. Langkah untuk menjalankan kurikulum itu terlalu cepat diambil. KTSP diberlakukan selagi K13 dibenah. Perpindahan dilakukan karena pembekalan belum baik dan terlalu terpaku pada penilaian. PP. No. 32 tahun 2013, menegaskan bahwa kurikulum harus dipertimbangkan selama paling kurang 7 tahun.” Beliau mengatakan bahwa “Untuk menciptakan sebuah kurikulum tidaklah mudah oleh karena itu kurikulum yang sudah ada tidak boleh dihapuskan melainkan disempurnakan. Karena itu K13 akan tetap diberlakukan tetapi pelaksanaannya ditunda untuk sementara waktu.” Ungkapan menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini diwujudnyatakan dengan pemberlakuan KTSP dimulai tepat pada tanggal 2 januari 2015 lalu.

Upaya penanganan masalah di atas tentu menjadi sebuah batu pijakan agar pendidikan di Indonesia tetap pada jalur menuju pendidikan yang luar biasa. Banyak individu yang menggerakkan roda gigi pendidikan di Indonesia. Termasuk kita yang dianggap bukan lulusan. Semua orang berperan dalam membangun Indonesia yang hebat. Pendidikan Indonesia tak boleh dianggap sepeleh. Mari kita membangun pendidikan di Indonesia tercinta bersama, bukan mempermasalahkannya. 

postby: Sirilus Dwirawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

03.00

GRHYA

lepeng