Menulis: Media Inspirasi
Salam sejahtera
untuk pembaca yang budiman,
Saya hadir kembali dalam blog yang sama “bocah tinta”, tetapi dengan pokok pembicaraan yang beda tentunya. Selain itu untuk tulisan yang satu ini saya menggunakan karakter akuan dengan kata saya.
Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya mengenai kegemaran menulis saya sehingga berani membuat blog. Menulis bukanlah sebuah hobi biasa bagi saya. Dengan menulis saya belajar banyak hal, hingga menurut saya dengan menulis saya dapat menghasilkan uang. Sehingga satu saran saya sebelum melanjutkan sharing ini, bahwa sesungguhnya hobi itu mahal. Oleh karena itu setiap agama yang kita anut selalu menekankan bagaimana kita menghargai pemberian Tuhan. PemberianNya bukan hanya semata “hidup sebagai manusia”, tetapi juga berupa bakat/talenta dan juga kemampuan yang kiranya dapat kita kembangkan.
Saya hidup di sebuah negara berkembang. Tak dapat dipungkiri bahwa negara yang masih berkembang tentu mengalami banyak sekali persoalan, entah persoalan dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai macam persoalan. Selain itu Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi yakni dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Paham demokrasi ini menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang tinggal di Indonesia berhak mengemukakan pendapatnya. Dikuatkan dengan hadirnya undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kebebasan berpendapat ditinjau dari perspektif hak asasi manusia. Salah satu cara mengemukakan pendapat yang sopan, santun dan juga bermartabat ialah dengan menulis. Entah melalui media massa maupun lewat proposal usulan dan lain-lain. Demonstrasi mungkin sudah sangat sering dilakukan oleh aktivis-aktivis muda Indonesia. Ada yang didengarkan, tetapi ada juga yang tidak didengarkan. Alasannya singkat saja, keputusan tetap ada dalam tangan “mereka yang duduk berjam-jam dalam ruangan ber-AC”. Kadang memuaskan, kadang juga tidak memuaskan. Karena setiap orang punya pandangan yang berda-beda.
Menulis adalah salah satu media penyaluran pendapat kita. Kehadiran media massa juga dibutuhkan untuk mengemukakan pendapat kita. Hanya saja banyak dari kita yang masih malas berkata-kata tetapi selalu sibuk mengoceh sana-sini di belakang layar. Kita dapat menulis dan menerbitkannya melalui media massa. Tetapi tidak begitu saja tulisan kita diterima oleh media massa, karena semua itu memiliki prosedurnya masing-masing. Adanya aturan juga menjadi momok bagi sebagian orang di antara kita untuk tidak mau menulis. Jangankan mengikuti prosedur penerbitan, menjalankan prosedur menulis yang benar saja menurut kita adalah hal yang sangat sulit, Karena kita terlalu dimanjakan dengan hal-hal instan dan tidak mau terikat dengan aturan. Hal ini juga menjadi alasan mengapa “Ibu Pertiwi” selalu dilanda beragam masalah.
MENGENAL, TERLATIH, DAN TERBIASA
Awal saya
mengenal kebiasaan menulis adalah ketika saya masih berstatus sebgai seorang
calon imam di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Sebagai seorang
seminaris saya dikenalkan dengan renungan yang wajib dibuat setiap harinya dan
diperiksa oleh Pembina masing-masing. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas
8. Kehadiran beberapa staf harian KOMPAS ke sekolah kami guna melaksanakan
pelatihan membuat koran sederhana menjadi sebuah momen besar bagi saya dalam
mengenal “tulisan”. Saya bukanlah orang terpilih yang diikutsertakan dalam
kegiatan pelatihan itu. Hanya mereka yang tergolong mampu saja yang bisa duduk
dan melakukan praktek dengan “pemeran-pemeran” dari harian KOMPAS.
Kegiatan pelatihan selesai, saatnya bagi mereka yang mengikuti pelatihan untuk berbagi apa yang mereka dapat. Sebuah keberuntungan bagi saya karena saya diajak untuk membuat koran kelas sederhana. Beberapa aturan yang diperlukan tidak terlalu saya perhatikan tetapi saya menangkap beberapa pengarahan mengenai jenis-jenis tulisan. Saat itulah saya mengenal opini.
Opini adalah salah satu jenis tulisan yang menurut saya sangat berbobot, karena kita dapat mengemukakan pendapat dan menawarkan usulan lewat opini. Selain itu opini tidak memberi batasan untuk kita berkomentar tentang sebuah persoalan hanya bagaimana kita mengemasnya dalam susunan kata yang sopan dan santun. Inilah salah satu pelajaran berarti di mana kita diajarkan untuk sopan/santun dalam berbahasa. Karena Bahasa adalah sebuah senjata, sekali-kali bisa saja kita diserang olehnya.
Dari pengalaman itu saya lebih rajin menulis opini sehingga saya diajarkan untuk merangkai paragraph berita. Saya dilatih untuk menganyam bahasa saya layaknya seorang reporter yang sedang membawakan sebuah berita di salah satu stasiun televisi. Saya dilatih bagaimana menggunakan 5W dan 1H lebih terperinci.
BERSAING DALAM BERBAHASA
Ketika memasuki
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti
sebagai seorang seminaris di bangku kelas 10 dan melanjutkan pendidikan di SMAK
Syuradikara Ende. Karena itulah akhirnya saya memutuskan untuk siap menerima bahwa
saya bisa saja tidak bergaul dengan opini atau semacamnyalah. Karena belum
tentu di tempat yang lain saya bisa diberi kesempatan yang sama untuk menulis. Tetapi
Puji Tuhan ternyata perkiraan saya itu salah. Berkat promosi dari ayah saya,
saya diberi kesempatan yang lebih besar lagi untuk bergaul dalam menulis.
Berkat pengalaman yang saya miliki, saya diberi kesempatan untuk menulis di majalah sekolah “Suara Syuradikara”. Ternyata pengalaman yang saya miliki mempunyai andil besar bagi saya dalam menuliskan opini. Tiga kali sudah opini saya terbit di majalah sekolah yang tidak hanya didistribusikan kepada siswa SMAK Syuradikara saja tetapi keluar daerah juga. Pujian dan saran banyak saya terima dari kalangan siswa maupun guru-guru sehingga dengan cara inilah saya menjalani reputasi saya sebagai murid pindahan.
Apresiasi yang besar oleh sekolah memberi saya kesempatan untuk berkompetisi dalam ajang “Duta Lingkungan Hidup” sekabupaten Ende. Meskipun hanya mendapat juara 4 pengalamn yang cukup membanggakan ini mengahdirkan kepercayaan lebih oleh sekolah kepada saya. Sehingga dalam kegiatan “Temu II Sastra NTT” saya dapat mengharumkan nama almamater dengan meraih juara 1 dalam lomba menulis opini. Karena prestasi saya ini, saya diberi kesempatan untuk mengikuti lomba “Debat Bahasa Indonesia Tingkat Provinsi NTT.” Hasilnya cukup mengagumkan, kami dapat membawa pulang juara 3 untuk kabupaten Ende.
Beberapa prestasi di atas bukanlah sebuah kesombongan yang ingin saya pamerkan, tetapi maksud dari semua itu hanya sebuah motivasi yang ingin saya bagikan bagaimana saya bisa hidup dengan menulis. Menulis sebenarnya dapat dilakukan oleh semua orang, tidak khusus untuk orang-orang yang mempunyai hobi menulis. Hobi saya mungkin bukan menulis. Karena saya lebih suka melakuakan touring, olahraga dll. Menulis hanyalah media penyaluran inspirasi bagi saya. “Apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya rasa bahwa itu benar saya tulis.” Oleh Karena itu saya tidak menulis setiap saat atau setiap hari. Saya menulis ketika saya punya inspirasi. Maknanya ialah inspirasi yang kita miliki jangan hanya habis dalam pikiran, salurkanlah melalui tulisan!
Begitu banyak inspirasi yang saya temukan memberanikan saya untuk menghadirkan blog berjudul bocah tinta ini. Ketika tidak ada yang ingin memuat apa yang saya tulis, saya tuangkan lewat blog ini. Paling tidak hal yang mulia ini tidak mubazir dan membusuk tanpa arti dalam benak saya.
Sekian saja sharing saya kali ini. Semoga apa yang saya bagikan dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Tuhan memberkati.
Komentar
Posting Komentar