Literasi : Budaya Yang Tereliminasi Jaman Dan Promotornya Atas Nama Pemerintah


            Pendidikan, sederhananya dianalogikan sebagai warisan, anggaplah itu emas. Iya Emas, dia berharga untuk siapapun yang tidak tahu akan seperti apa masa depan nanti, dan emas tak akan pernah seharga besi sampai kapanpun itu. Warisan itu bernilai jual tinggi dan itu modal yang dapat dipertaruhkan. Sebagian orang dengan tekun merawat dan menjaga “emas” itu agar kadar emasnya tak berkurang 1 karat pun, apalagi kehilangan sebongkah saja. Malangnya, masih ada saja separuh orang yang mengabaikan kesempatan itu.
Semakin kesini semakin banyak saja masalah soal Pendidikan. Mulai dari ketimpangan kualitas Pendidikan yang berdampak pada mutu masyarakat antar daerah, sampai dengan budaya literasi yang perlahan memudar. Ketidaksetaraan Pendidikan menjadi PR pemerintah secara khusus. Sedangkan perkara budaya literasi jadi penyakit masyarakat yang sudah kritis saat ini dan perlu segera diobati. Salah dan benarnya bukan itu yang kita cari, tetapi cara mengatasi masalah ini, itu yang kita butuh.
            Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia merdeka, terbebas dari penjajahan dan berdiri sebagai bangsa yang besar di atas Bumi. Bangsa yang berideologikan Pancasila dan berasaskan hukum yang terjabar dalam UUD 1945. Cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa semakin jauh dari harapan. Pasalnya, pendidikan Indonesia sedang mengalami kemunduran. Padahal, pendidikan merupakan modal bagi kita untuk menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Pendidikan menjadi parameter utama yang menentukan kecakapan seseorang dalam berinteraksi dan berkembang. Tetapi, lagi-lagi harapan bumi pertiwi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tercemar polemik dan berita perihal ketidaksetaraan kualitas penduduk di tanah air. Sebagian merasakan kebebasan mendapatkan Pendidikan, sebagiannya masih mencari tahu seperti apa itu Pendidikan.
Lasron P. Sinurat dalam tulisannya (Qureta, 2017) mengatakan buruknya kualitas pendidikan sudah mencapai titik klimaks. Dari hasil survei tingkat kecakapan orang dewasa (Program for the international Assessment of Adult Competencies/PIAACC) oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Indonesia berada di peringkat bawah dalam semua jenis perlombaan dasar: kemampuan literasi, berhitung, dan memecahkan masalah. Pernyataan Larson ini dipertegas dengan data BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa Proporsi Anak Kelas 4 SD yang Mencapai Standar Kemampuan Minimum Dalam Membaca dan Matematika, 2017. Untuk standar kemampuan kurang dalam Matematika mencapai 77,13%, sedangkan yang cukup mampu hanya 20,58 % dan untuk kategori baik dalam matematika 2,29 % saja. Kemampuan berhitung ini tentu sangat dipengaruhi oleh kegiatan belajar mengajar yang sebagian besarnya adalah proses literasi. Bagaimana tidak? Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada 27 November 2017 Proporsi Anak Kelas 4 SD yang Mencapai Standar Kemampuan Minimum Dalam Membaca, sebanyak 46,83% kurang baik dalam membaca. 47,11% memiliki kemampuan yang cukup baik dalam membaca. Ironisnya yang tergolong baik dalam membaca hanya sebanyak 6,06% saja.
Secara kuat data di atas mempropagandakan bagaimana kritisnya kondisi Pendidikan di Indonesia. Reportase ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi pemerintah selaku penyelenggara  terlaksanannya Pendidikan itu sendiri. Peranan pemerintah sangatlah besar dalam mengatur pelaksanaan Pendidikan. Dimulai sejak 1950 melalui draf undang-undang wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun. Prioritas dalam pendidikan semakin ditekankan pada era pemerintahan presiden Soeharto yang diwujudkan dalam pendirian hampir 40.000 sekolah dasar baru pada akhir 1980an sehingga memungkinkan tercapainya target wajib belajar 6 tahun. Kemudian memasuki 1965-1995 wajah Pendidikan Indonesia sudah banyak mengalami transformasi sampai pada masa inilah ditetapkannya kurikulum untuk masing-masing jenjang mulai dari SD - SMA/SMK. Saat ini tak dapat dipungkiri di setiap pergantian Menteri Pendidikan maka akan ada kurikulum baru yang dicanangkan sebagai program kerja baru. Tetapi, sesungguhnya di beberapa periode terakhir pancaroba kurikulum tidak menjawabi harapan dan kebutuhan masyarakat. Seringkali adanya pergantian kurikulum menjadi beban baru yang kemudian membuat konsentrasi elit Pendidikan separuhnya terarah kepada pembenahan kurikulum tersebut, bukan menyelesaikan masalah sebelumnya. Mengapa seperti itu? Satu hal yang paling krusial sebagai penyebabnya adalah persoalan pemerataan penyelenggaraan Pendidikan di seluruh pelosok Nusantara.
Secara teknis infrastruktur dan sarana-prasarana menjadi hal paling menentukan untuk masalah ini. Sebagai contoh, Kecamatan Peso terletak di hulu Sungai Kayan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Untuk menuju wilayah tersebut, dibutuhkan waktu hingga empat jam dari ibu kota Kabupaten Bulungan dengan menggunakan speedboat menyusuri Sungai Kayan yang lebarnya empat kali lapangan bola. Biaya perjalanan juga cukup mahal, yaitu Rp400.000 per orang. Kecamatan Peso merupakan wilayah kecamatan terakhir yang dialiri listrik dan terdapat sinyal ponsel. Selepas dari Kecamatan Peso menuju desa yang lebih dalam menuju hulu sungai, keadaannya masih gelap gulita jika malam hari karena belum dialiri listrik dan masuk kawasan blankspot (Kompas, 2018). Kondisi infrastruktur di desa Bulungan seperti ini menjadi salah satu aspek vital dalam mengimplementasikan gerakan literasi, dan semacamnya yang digelar pemerintah utnuk mengatasi ketimpangan kualitas Pendidikan di Indonesia.
Ditulis oleh Nunukan pada Kompas (2018) bahwa, Kepala Seksi Peserta Didik, Pembangunan Karakter Pendidik, dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, Syahrial mengatakan, istilah literasi bahkan baru pertama kali didengar oleh guru maupun siswa setelah ada program Inovasi untuk anak Indonesia. Program dari Kemendikbud ini untuk meningkatkan mutu pembelajaran pada bidang literasi, numerasi, dan inklusif di jenjang pendidikan dasar menyapa mereka. ”Wilayah yang luas, berjauhan, dan transportasi yang terbatas membuat usaha kami mempromosikan literasi tidak bisa berlangsung cepat,” ujar Syahrial, Sabtu (3/2/2018).
Ketika dihadapkan dengan permasalahan seperti ini, ada dua hal penting yang ditunjukkan dan boleh jadi adalah masalah penting yang perlu diatasi sesegera mungkin. Yang pertama, ialah persoalan mengenai pemerataan kualitas Pendidikan. Salah satu cara yang tepat untuk menanganinya adalah dengan membangun infrastruktur di daerah pelosok yang hampir tak terjamah oleh pemerintah. Dalam hal seperti ini, koordinasi pemerintahan pusat ke daerah harus benar-benar bagus dan bersih (dari KKN) agar apa yang dicita-citakan dapat terencana dan kiranya terealisasikan dengan baik. Yang kedua, memantapkan kurikulum yang efisien dan efektif, di mana kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peluang yang dapat diambil kelak. Sebuah kurikulum harus benar-benar teratasi masalahnya sekitar 70% dahulu, kemudian boleh dicanangkan transfromasi kurikulum baru sebagai bentuk pengembangan dan mengikuti perkembangan jaman.
Setelah menggali masalah dalam dunia Pendidikan seperti di atas, sebenarnya persoalan tersebut bukanlah persoalan paling mendasar melainkan tergolong dalam masalah teknis. Kalau begitu, apa masalah yang mendasar? Ada sebuah peribahasa berbunyi “Salah langkah, surut kembali” yang mempunyai arti sebaiknya memperbaiki diri dulu agar kesalahan tersebut tidak terjadi lagi. Masalah yang paling dasar adalah personal problem atau masalah dari individu itu sendiri. Budaya literasi yang kian melindang dewasa ini menjadi hal yang tak dapat dielakkan membuat wajah Pendidikan kita semakin berkelukur. Apa karena budaya itu telah terkontaminasi oleh perkembangan teknologi? Ataukah doktrin orang dulu, “lebih baik kerja dan dapat uang, daripada sekolah hanya buang-buang uang?”
Perkembangan teknologi dengan ekspresnya kini telah menjamah setiap aspek kehidupan kita. Apa yang tidak diketahui oleh “google”? Hampir segala informasi yang kita butuhkan disajikan secara cepat dengan sekali klik, bahkan tak perlu menunggu lama untuk mengetik, dengan sensor suara saja apa yang ditanya terjawab sudah. Boleh jadi kemudahan yang ditawarkan oleh jejaring internet ini menjadi bius, bahwa tenang-tenang saja apa yang kita butuhkan dapat dicari dengan mudah, kemudian kita terlelap dan keenakan sehingga lupa usaha mencari informasi ala literasi. Hal-hal instan seperti ini sangat disayangkan, dan perlu usaha agar tidak ada lagi yang terjebak dalam langgam yang salah. Bahwa bagaimanapun literasi adalah budaya yang sangat perlu untuk dilestarikan dan diterapkan dalam Pendidikan. Selain itu informasi yang dibagi di internet tidak semuanya benar alias separuhnya adalah “hoaks”. Sehingga penerapan budaya literasi kembali mengajak kita untuk mendapatkan informasi orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan korelasinya saja, untuk dapat menggunakan atau memakai fasilitas internet tentu di awal sekali kita perlu mahir membaca dan mengenali setiap karakter yang kita operasikan di atas keyboard. Terlepas dari itu, tentang pengaruh internet yang menyuguhkan kemudahan untuk mengakses informasi, internet pula dapat disebut sebagai pengalih budaya literasi. Kembali penulis membenarkan bahwa pengaruh internet berimbas pada hilangnya ikhtiar lama yakni literasi. Kecenderungan memperoleh informasi dari internet membuat seseorang menjadi malas untuk membolak-balikan lembar buku. Sehingga membuat kemampuan seseorang dalam menulis dan berbicara menjadi tidak bagus seperti minimnya perbendaharaan kata, dan lain-lain.
Indonesia, sebuah negara besar dengan beragam suku, ras, budaya, dan agama menjadikannya sebagai bangsa yang kaya. Yusuf Waluyo Jati, dalam Kabar24 (2018) mengatakan dengan menilik laporan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sejak 2009 hingga 2017, setidaknya ada 7.241 karya budaya yang tercatat dan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Segala macam bentuk budaya dalam catatan kemdikbud di atas belum termasuk prosa lepas yang muncul sebagai bentuk visualisasi masyarakat terhadap situasi yang dirasakan. Bekerja di usia belia menjadi pilihan paling tepat untuk menjawabi kebutuhan finansial daripada bersekolah. Mendapatkan Pendidikan yang layak menjadi momok tersendiri bagi segelintir masyarakat untuk menyanggupinya. Bukan soal tidak ingin, tetapi kebutuhan ekonomi mereka adalah alasan paling adil untuk mengabaikannya. Bukan salah pemerintah sepenuhnya untuk konteks masalah seperti ini, karena  sebetulnya kesalahan ini telah ada di lingkungan kita sejak awal. Ketika pemerintah menjawab kebutuhan Pendidikan usia dini dan bantuan operasional serta penggratisan biaya sekolah, masih saja ada “pemilih” bekerja yang tidak mengindahkan tawaran itu. Doktrin yang muncul untuk mengarahkan anak banting tulang adalah salah satu faktor lunturnya literasi. Jangankan mau bersekolah, melihat buku dengan sederetan tulisan yang berjejer horisontal tersusun paralel memenuhi secarik kertas mungkin akan membuat muak. Ini perlu dibenah dan doktrin itu harus hilang!
Bentuk aksi sosial oleh komunitas-komunitas pencinta baca-tulis, seperti mengadakan taman baca adalah salah satu gerakan yang bagus dan perlu diapresiasi. Taman baca menjadi salah satu cara memperkenalkan budaya literasi di lingkungan anak-anak yang tak bersekolah. Memperkenalkan betapa menariknya bisa membaca dan dapat membuat tulisan. Perkenalan dengan menceritakan narasi, pembacaan puisi, dan mengulas sejarah bisa jadi perangsang rasa ingin tahu yang baik. Hal serupa tentu tidak boleh hanya terselenggara oleh komunitas-komunitas seperti ini. Oleh karena itu, kewajiban untuk memiliki perpustakaan di setiap sekolah perlu dibuat. Sehingga, untuk menjamin lestarinya budaya literasi, campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan. Diharapkan pemerintah dapat mendukung gerakan komunitas-komunitas ini serta perlu membuat gerakan serupa di lingkungan sekolah misalnya, gerekan Indonesia membaca, dan perpustakaan “statis dan motor”. Perpustakaan statis adalah perpustakaan diam atau tetap berupa bangunan, sedangkan perpustakaan motor adalah perpustakaan bergerak seperti mobil perpustakaan. Tetapi, yang menjadi fokus dari gerakan ini ialah untuk daerah pelosok yang sulit terjangkau dan lingkungan “kebal” literasi.
Tidak ada waktu lagi untuk prihatin, jangan lagi ada kasihan, bukan itu yang kita butuh. Sejahtera, makmur dan merdeka untuk tahu, bebas untuk berpikir dan berhak untuk membaca serta menggauli literasi. Sudah saatnya seluruh bangsa tahu, kita besar karena penasaran apa yang dunia bicarakan tentang Indonesia. Sudah waktunya literasi jadi jajan wajib anak bangsa. Beri itu semua !
            Di akhir tinta, penulis mengutip kata-kata bijak dari seorang pelopor Pendidikan negeri ini, Ki Hajar Dewantara "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Semoga







(Sirilus Dwirawan, 7/12-2018)


Komentar

  1. Balasan
    1. siap terimakasih banyak eja. sampai sejauh ini ada peran bapa praja Yon Dani ni wkwkwkwk, sekali lagi terimakasih eja.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

03.00

GRHYA

lepeng