Journey In Jekardah

Dari Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Try to return back and remember the moment before.

Menyusuri jalanan kota administrasi ini terlintas dalam benak tentang puisi yang baru pagi tadi terpublikasi lewat akun facebook saya. Sebuah akun yang dipimpin oleh seorang CEO yang sederhana. Ya, sederhana karena beliau pernah mendatangi Jogjakarta namun keberadaannya dirahasiakan olehnya dari seluruh media tanah air (indozone/Ig). Untuk yang belum tahu, itu ada informasi baru hahaha. Oyah puisi saya adalah sebagai berikut.

Puisi Dki :
Pagi,
Mentari,
Teh melati,
Sruput segera saat panas bangunkan raga yg mati
Mati karena belom beranjak dari alam mimpi
Mimpi yang baru dimulai setengah empat pagi
Iya tadi, saat dini hari
Disini? Sama sja tetap ramai
Pagi bukan saat munculnya mentari
Tetapi itu waktu sepanjang hari
Itu dy DKI...
#jakarta

Puisi ini saya gubah tertanggal 18 Agustus 2016, ya benar waktu yang sama dengan waktu ulang tahun sahabat kecil saya. Benar saja saya terjaga tepat pada pukul 03.30 lewat sedikit. Alasannya, bukan karena menunggu pukul 12 untuk mengucap selamat ulang tahun kepada seorang remaja yang baru sja memasuki 18 tahun. Jelas baru saja karena saya lebih dahulu merayakannya hahahaha. Karena, saya rasa terlalu alay kalau harus menunggu mengucap selamat ulang tahun. Tak lupa juga saya kembali mengingat pesan yang disampaikan Mongol seorang komika stand up komedi asal Sulawesi. Beliau pernah "mengecam" mereka yang mengucap selamat ulang tahun untuk orang lain pada pukul 12 malam (tengah malam). Menurutnya ada larangan di surat Amsal (kitab suci orang kristen) untuk orang mengucap selamat di tengah malam. Ya, karena anggapan Mongol orang yang mengucap selamat di tengah malam hanya membuat yang berulang tahun umur pendek, karena kaget di bagunkan. Sebenarnya tidak si Mongol jaman sekarang yang ada yang berulang tahun malah menunggu untuk diucap hahaha khususnya anak muda biar dibilang updater dan bisa membalas mention mereka satu persatu.
Terlalu jauh kita berbelok, kembali lagi ke puisi tadi. Puisi itu sengaja saya buat karena belom sebulan saya tinggl di ibukota sudah terasa betapa bising tanah Jakarta. Saya bersyukur karena bisa melanjutkan pendidikan di Jakarta tapi di daerah yang cukup amanlah untuk ukuran kota Jakarta, di Jakarta barat, kec. cengkareng.  Pada awalnya saya ingin membedah isi puisi yang saya buat, namun setelah dipertimbangkan yang hausnya menbedah puisi adalh penikmat puisi bukannya pengarang biar terkesan sureprise. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk bercerita tentang kehidupan saya yang baru seumur jagung di kota metropolitan dalam tulisan ini.
7 Agustus menjadi tanggal keberangkatan saya ke Jakarta. Tipe tiket dengan transit sehari memaksa saya untuk bermalam di Kupang. Iya, di kota yang penuh dengan orang-orang hitz dan kece. Kurang lebih seperti itulah orang-orangnya, maka tak heran fashion remaja kupang selalu menjadi tolak ukur fashion seluruh remaja NTT. Hanya sehari jelas tidak meninggalkan banyak cerita di kota karang itu. Paling, cerita minum sopi yang terjadi sesaat setelah sampai di rumah di daerah Sikumana. Tempat kami beradu lidah dan menarikan gelas bukan di Sikumana, tetapi di Kuanino. Ini menjadi momen pertama saya minum sopi. Syukurlah, sebelum saya meninggalkan NTT untuk pergi ke tanah rantau paling tidak saya pernah merasakan sopi yang rasanya lebih ringan dari “moke” tetapi menghanyutkan di ujung tetesnya. Menghanyutkan karena setelah pulang dari Kuanino dan tiba di Sikumana isi lambung saya yang telah dicerna secara mekanis berhamburan tumpah di lantai (muntah). Hahaha itu hanya dosa kecil saya sebelum tiba di ibukota yang mungkin akan lebih banyak dosa yang saya buat, saya harap tidak.
            8 Agustus pukul 09.15 pesawat lion air menerbangkan saya ke Jakarta detelah sebelumnya melakukan transit di Surabaya. (tidak ada cerita di sby, hanya satu kali makan dengan harga makanan 65 ribu, padahal porsi lebih sedikit dari nasi padang harga 20 ribu). Tiba di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng-Jakarta Barat bukan berarti hari itu tgl 8 agustus saya sudah sampai dan berada di Jakarta. Karena hanya 30 menit lebih berada di bandara untuk menyelesaikan segala tete bengek di sana, saya kemudian digiring taksi ke kota Tanggerang provinsi Banten. Tanggal 9 pun saya masih belum menyentuh kepadatan ibukota negara karena masih di Tanggerang.

Jeng-jereng, jeng, jeng. Akhirnya tanggal 10 saya menyentuh kota administrasi Jakarta Barat. 10-15 adalah hari-hari saya melengkapi segala keperluan untuk menjalankan masa ospek. Selama itu saya mendapat banyak cerita karena selama itu juga saya menghabiskan banyak uang hanya untuk menyewa grab untuk melayani perjalanan saya. Namun, cerita itu tidak akan saya bagikan saat ini, biarlah pembaca yang kece menikmatinya sendiri ketika sampai di sini. Biarkan cerita itu menjadi hal yang private dulu untuk saat ini. Pada intinya saya menikmatinya hahahahaha…..

            Saya belum bisa mendeskripsikan secara detail bagaimana ramainya ibukota, yang jelas di kota ini waktu menjadi prioritas. Semua orang memiliki kepentingannya masing-masing jadi jangan heran kalau berada di jalanan semua orang terlihat cuek dan tingkat toleransinya cukup rendah. Hal inilah yang membuat setiap kota besar di manapun itu selalu memiliki angka kematian karena kecelakaan lalu lintas yang sangat besar. Sebuah pengalaman yang betul saya rasakan ialah untuk mengejar waktu dan kepentingan pribadi, orang terpaksa melanggar peraturan sekalipun ia tahu bahwa hal itu membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Misalnya, penggunaan jalur busway. Pelanggaran seperti ini sering sekali terjadi di Jakarta. Pelanggaran ini sering terjadi di daerah yang tidak dijaga oleh oknum polisi atau jauh dari kawasan pos polisi.
           
           Hal yang menarik bagi saya mengenai perjalanan di Jakarta ialah tidak membosankan. Banyak opini yang berpendapat bahwa perjalanan di Jakarta membosankan. Jelas membosankan apabila terjadi kemacetan lalu lintas. Untuk penduduk asli Jakarta atau kota besar lainnya akan merasa jenuh apabila melakukan perjalanan jauh. Karena, mereka tahu bahwa akan terjadi macet. Tetapi lain hal dengan orang-orang yang berasal dari kota kecil. Sekalipun macet mereka jarang merasa bosan karena jarak yang jauh tetap ditempuh lebih cepat dan keramaian jalan dan tata kota membuat mereka jarang merasa bosan. Itulah sedikit penilaian berkaitan dengan Jakarta. Selebihnya saya rekomendasikan pembaca untuk mari berlibur ke Jakarta dan rasakan sendiri!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

03.00

GRHYA

lepeng